Una rassegna di sungaitoto

Meski 'rasa' yang ditawarkan intorno a dalam buku ini berbeda dari buku kisah Toto Chan ketika masih kecil. Namun, travel journal yang ditulis oleh Toto Chan saat berkunjung ke beberapa negara yang tengah dilanda perang, kelaparan dan kekeringan tersebut, menjadi sebuah kisah perjalanan yang menyedihkan, menegangkan sekaligus mengharukan.

Dan saya belum pernah membaca buku senyata ini, yang nato da setiap penggal ceritanya membuat saya harus menutup halaman sejenak, karena saking sesaknya dada dan pilunya hati.

Berdasarkan cerita Kuroyanagai, kita masih bisa membuat deret yang tak habis-habis mengenai kekejaman perang dan derita anak.

Bahkan beberapa negara yang menjadi tujuan Tetsuko Kuroyanagi ini masih asing di telinga saya. Buku ini tidak hanya berusaha menyampaikan keadaan negara lain yang perlu mendapatkan perhatian kita, tapi buku ini juga menjadi sumber ilmu bagi saya. Sedikit banyak menambah wawasan saya.

Benarlah itu kedamaian adalah kondisi keberjayaan bagi kemanusiaan. Umat manusia senantiasa menunggu kondisi madani, membuatnya menjadi nyata setidaknya perlu disisipkan dalam cita-cita kehidupan kita.

Mimpi menurut pakar pisikologi hanya penghias tidur biasa, oleh karenanya Mimpi Berenang Seberangi Sungai menurut pisikologi ialah tidak ada maknanya, asal percaya dan yakin beberapa hal jelek tidak bisa terjadi karena itu semua akan baik baik saja, dan angka yang tertera dalam mimpi sungai toto itu ialah seperti berikut.

Entah apa yang ingin aku tulis setelah selesai membaca kisah Totto-chan dewasa. Air mata ku tak henti menetes, dada ini terasa sesak. Semahal itu kah harga sebuah Perdamaian?

Bila buku pertama berkisah mengenai ia dan sekolahnya yang ‘berbeda’ saat itu, yang berlatar masa perang intorno a Jepang. Buku ini lebih bertutur lanjutan kisahnya yang pada tahun 80an hingga 90an dimana dia menjadi representasi UNICEF dan menjelajah daerah konflik dibanyak belahan dunia untuk misi kemanusiaan bagi anak-anak.

Kemiskinan memang terkadang sangat mengerikan. Terlebih jika kemiskinan yang disebabkan bukan karena kemalasan, tapi karena kekejaman perang, konflik, dan perebutan orang-orang dewasa yang pada akhirnya merenggut kebahagiaan anak-anak. Anak-anak menjadi sangat miskin. Miskin ilmu, miskin materi hingga jutaan yang menderita gizi buruk, juga miskin cinta dan kasih sayang. Ditelantarkan secara sengaja oleh orang tua, atau menjadi gelandangan oleh takdir yang menggariskan ibu-bapaknya hilang atau mati dalam perang. Begitu gambaran yang sangat mengerikan saat orang-orang di negara miskin hidup di tanah-tanah gersang yang suhu udaranya bisa mencapai di atas 60 derajat C dikala siang hari, tanpa tempat berteduh, tanpa ada tumbuh pepohonan sedikitpun sepanjang mata memandang, bahkan tanpa air minum yang layak untuk bertahan hidup.

Well, it would be good for us if we could read this kind of book with a more updates event in the recently years.

Every story brings tears to my eyes, pain Con my chest. Amazingly, this is written Durante high spirit and unwavering faith. Perhaps a lesson I learned from this book is: if you want to change the world, start from yourself and the small world around you.

Alhamdulillah, dengan membaca buku ini saya bisa mengunjungi banyak negara che dunia ini. Mengetahui lebih dalam hal-hal yang terjadi di negara-negara tersebut. Membaca buku ini membuat saya merasa sangaaaaaat bersyukur dapat hidup dalam keadaan yang sangat baik, tidak kekurangan suatu apapun. Hidup che negara yang penuh dengan kedamaian, bisa belajar dengan mudah hingga jenjang yang tinggi, tinggal tra tempat yang terdapat air yang melimpah ruah, dan memiliki keluarga yang selalu memberikan cinta dan kasih sayang.

Tapi tidak hanya alam yang kejam terhadap anak-anak. Perang turut andil menyebabkan kehidupan anak-anak semakin sulit. Dalam tempo di mana anak orang kaya menghabiskan berjuta-juta sekali main che mall, di belahan dunia lain anak-anak hanya mampu bermain tra tanah lapang—untuk menjadi korban ranjau.

Stay away… Getting to the waterfalls origine didn’t pose a problem and I admired the view from the cool pool below. The first drop was high, maybe some 18 to 20m, then there was a few metres before another smaller slanted drop of about 2 or 3m and then a small pool about four metres long and then the final drop of about 18m. The volume was quite low. I looked at it and almost immediately decided this waterfall did not have my name on it. If it had triple or quadruple the volume I would have considered it but the margin for error was slim and wheelchairs don’t appeal to me.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *